Oleh : Anggara Putra*)
Menjelang akhir tahun, dinamika sosial dan politik kembali memanas dengan mencuatnya isu mengenai rencana penyelenggaraan kembali “Reuni 212” di berbagai wilayah dan kota besar di Indonesia. Wacana ini tidak hanya memantik diskusi publik, tetapi juga menyalakan alarm kewaspadaan bagi elemen bangsa yang mencintai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di tengah situasi ini, narasi utama yang harus dikedepankan adalah prioritas terhadap stabilitas keamanan, keselamatan rakyat, dan kedaulatan ideologi negara di atas kepentingan kelompok tertentu.
Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB), melalui Ketua Umumnya, AR Waluyo Wasis Nugroho atau yang akrab disapa Gus Wal, menyerukan peringatan keras agar Indonesia bersikap tegas dan waspada tingkat tinggi. Gus Wal menegaskan bahwa rencana Reuni 212 tidak boleh dipandang sekadar sebagai ajang silaturahmi atau reuni berjilid-jilid semata. Ia menilai bahwa kegiatan tersebut diduga kuat telah bertransformasi menjadi panggung konsolidasi bagi kelompok-kelompok berhaluan ideologi transnasional, pendukung khilafah, hingga simpatisan jaringan terorisme.
PNIB menyoroti kerawanan yang sangat nyata bahwa momentum Reuni 212 rawan dimanfaatkan dan ditunggangi oleh residu organisasi terlarang. Pengalaman masa lalu memberikan pelajaran berharga bahwa kerumunan massa dalam skala besar di bawah bendera 212 kerap dijadikan panggung orasi oleh kelompok yang sebelumnya berafiliasi dengan Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Masyarakat perlu diingatkan kembali bahwa kedua organisasi tersebut FPI dan HTI telah resmi dibubarkan oleh pemerintah Indonesia melalui Perppu Ormas dan keputusan pengadilan yang sah. Pembubaran tersebut bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan langkah konstitusional karena ideologi dan aktivitas mereka terbukti bertentangan dengan Pancasila serta mengancam ketertiban, kenyamanan, keselamatan, dan keamanan publik.
Dalam keterangannya, Gus Wal menegaskan bahwa agenda tersebut bukan sekadar reuni, melainkan sebuah ajang konsolidasi yang diduga kuat memiliki agenda makar terselubung yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan rakyat serta bangsa Indonesia. Menurut pandangannya, pembiaran terhadap acara ini sama halnya dengan memberikan ruang bagi ideologi yang ingin meruntuhkan sendi-sendi kebangsaan.
Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi ancaman radikalisme berkedok agama. PNIB mengajak publik dan pemerintah untuk membuka mata terhadap ketegasan negara-negara lain yang telah lebih dulu mengambil langkah keras terhadap kelompok serupa. Narasi bahwa tindakan tegas pemerintah adalah bentuk “kriminalisasi” adalah propaganda yang menyesatkan, karena fakta global menunjukkan sebaliknya.
Gus Wal memaparkan perbandingan nyata mengenai ketegasan negara lain. Ia mencontohkan Malaysia yang melarang aktivitas kelompok Wahabi karena dinilai meresahkan masyarakat serta menimbulkan fragmentasi sosial. Sementara itu, Arab Saudi menerapkan hukuman berat sampai tingkat hukuman mati bagi para penyeru khilafah dan pelaku aksi terorisme yang mengancam keamanan negara.
Di tingkat global, Amerika Serikat juga telah mengambil langkah strategis dengan melarang keberadaan dan aktivitas Ikhwanul Muslimin. Kelompok ini dianggap memiliki jaringan terorisme internasional yang berpotensi menginspirasi ekstremisme, radikalisme, dan terorisme politik yang berlindung di balik topeng keagamaan.
Lebih lanjut, Gus Wal menerangkan bahwa pendekatan negara-negara tersebut dapat menjadi rujukan bagi Indonesia, mengingat kewaspadaan terhadap gerakan ideologi transnasional yang mengusung khilafah dan terorisme bukan lagi sekadar isu lokal, melainkan tantangan global yang harus dihadapi dengan tangan besi.
Indonesia tidak boleh lengah sedikitpun. Setiap gerakan yang membuka ruang bagi kembalinya narasi khilafah, radikalisme, anarkisme, ekstremisme, serta jaringan politik maupun terorisme transnasional adalah ancaman eksistensial bagi bangsa. Kelompok-kelompok ini sangat berbahaya karena target utama mereka adalah merusak persatuan dan kesatuan bangsa serta mengancam keselamatan rakyat.
Oleh karena itu, PNIB mendesak agar pemerintah memastikan tidak ada celah hukum maupun celah politik yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan organisasi transnasional seperti Ikhwanul Muslimin. Pengawasan harus diperketat secara masif, termasuk terhadap entitas politik yang mencoba bermain api dengan membawa agenda yang sejalan dengan ideologi perusak tersebut demi keuntungan elektoral sesaat.
Gus Wal juga berujar bahwa Indonesia harus belajar dari Malaysia, Arab Saudi, Amerika Serikat, dan negara-negara lain yang telah mengambil langkah tegas dan keras demi mencegah tumbuhnya gerakan ekstrem yang merusak kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap paham yang bertentangan dengan Pancasila. Kegiatan tahunan seperti Reuni 212 yang lekat dengan narasi Khilafah dan intoleransi harus disikapi tanpa kompromi. Negara, dalam hal ini pemerintah, aparat penegak hukum, Densus 88 Antiteror, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, dan TNI, wajib hadir sebagai garda terdepan untuk menolak acara tersebut di manapun berada.
Ketegasan pemerintah Indonesia dan aparat penegak hukum adalah syarat mutlak atau conditio sine qua non untuk menjaga marwah Pancasila dan keutuhan NKRI. Sinergi antara Densus 88, BNPT, Polri, dan TNI harus diperkuat untuk mendeteksi dini dan memutus mata rantai konsolidasi kelompok radikal.
PNIB menutup pernyataan sikapnya dengan menyerukan mobilisasi kesadaran nasional. Seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, serta aparat keamanan (Densus 88, BNPT, Polri, TNI) harus bersatu padu meningkatkan kewaspadaan terhadap ruang-ruang publik yang berpotensi ditunggangi.
Reuni 212 dinilai memiliki risiko tinggi dimanfaatkan kembali oleh sisa-sisa kelompok terlarang seperti HTI, FPI, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang ingin bangkit kembali (rebound) dengan sarana mengadakan konsolidasi massal.
Menutup keterangannya, Gus Wal meminta kepada pemerintah dan aparat penegak hukum yang terdiri dari Densus 88, BNPT, Polri, dan TNI untuk menolak, melarang, dan membubarkan acara Reuni 212 di manapun berada. Ia menekankan bahwa demi keselamatan bangsa, tidak ada tawar-menawar bagi pihak-pihak yang berupaya merusak NKRI.
Stabilitas keamanan adalah harga mati. Jangan biarkan masa depan Indonesia digadaikan oleh sekelompok orang yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi asing yang telah terbukti gagal dan dilarang di berbagai belahan dunia.
*) Pemerhati Politik













