Waspada Provokasi dan Hoaks PSU, Seluruh Pihak Harus Lapang Dada Terima Keputusan

oleh -6 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Andi Ramli

Proses demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin saja, tetapi lebih daripada itu, yakni juga tentang kedewasaan dalam menerima apapun dan bagaimanapun hasil pemilihan yang telah ditetapkan dan disahkan secara resmi nantinya, termasuk dalam menghadapi munculnya dinamika dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU).

banner 336x280

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan sejumlah keputusan hukum final terkait perselisihan hasil Pilkada, namun gelombang provokasi dan informasi keliru terus saja mengintai, khususnya di dunia maya dengan pesat dan cepatnya informasi menyebar luas seperti sekarang ini.

Menyikapi hal tersebut, seluruh masyarakat perlu terus meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran berita bohong dan palsu atau hoaks, sementara seluruh pihak diminta bersikap legawa dan mampu menghormati apapun serta bagaimanapun putusan hukum berkaitan dengan siapa pemenang PSU sebagai bagian dari komitmen terhadap demokrasi yang sehat.

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 24/PHPU.BUP-XXIII/2025 menyampaikan bahwa PSU di Kabupaten Empat Lawang harus dijalankan dengan hanya melibatkan dua pasangan calon.

Mahkamah menyatakan segala permasalahan yang terjadi sebelum keputusan tersebut dianggap tidak relevan lagi untuk dipersoalkan. Artinya, seluruh proses yang telah dibatalkan oleh MK tidak dapat dijadikan dasar keberatan hukum baru.

Lebih jauh, Mahkamah juga memutuskan bahwa permohonan baru pasca-PSU oleh pasangan calon Budi Antoni Al Jufri dan Henny Verawati tidak beralasan menurut hukum. MK menilai objek sengketa pada PSU berbeda dengan pemilihan sebelumnya, sehingga tidak ada alasan untuk terus mempertanyakan proses yang sudah diputuskan.

Dalam hal tudingan terhadap Bawaslu Empat Lawang, Mahkamah juga tidak menemukan bukti pelanggaran etik karena tidak ada keputusan resmi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dapat memperkuat klaim pelanggaran tersebut.

Sikap Mahkamah juga terlihat dalam perkara PSU Pilkada Kabupaten Tasikmalaya. Dalam amar putusannya terhadap perkara Nomor 321 dan 324, Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa kedua permohonan tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.

Dalil-dalil yang diajukan dinilai kabur dan tidak beralasan menurut hukum. Putusan ini menutup ruang bagi berbagai spekulasi dan manuver hukum lain yang dapat memperpanjang ketegangan politik lokal.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tasikmalaya melalui ketuanya, Ami Imran Tamami, menyambut baik putusan Mahkamah tersebut. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti keputusan itu dengan menetapkan pasangan calon terpilih sebagai bupati dan wakil bupati Tasikmalaya. Langkah tersebut sekaligus menjadi sinyal bahwa proses demokrasi kembali ke jalur konstitusional yang sah dan transparan.

Namun demikian, fakta bahwa putusan telah dibacakan tidak serta-merta menjamin berakhirnya gesekan di tingkat akar rumput. Dalam sejumlah pengalaman PSU sebelumnya, potensi penyebaran informasi menyesatkan dan provokasi politik cenderung meningkat, terutama melalui media sosial. Situasi ini dapat memperkeruh kondisi apabila publik tidak bersikap bijak dan selektif dalam menyerap informasi.

Menanggapi potensi tersebut, Solidaritas Islam Luwu (SILU) menunjukkan contoh positif. Organisasi masyarakat ini menggelar deklarasi damai di Palopo menjelang PSU Pilwalkot. Mereka menyuarakan komitmen kuat untuk menolak segala bentuk provokasi, ujaran kebencian, dan tindakan anarkis.

Deklarasi tersebut menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai lokal seperti sipatokkong (saling menopang), sipakalebbi (saling menghargai), dan sipakainge (saling mengingatkan) demi menjaga ketenangan dan persaudaraan warga.

SILU juga menegaskan posisi netralnya terhadap pasangan calon dan lebih memilih fokus pada kelancaran proses demokrasi yang sehat. Ajakan untuk aktif menjaga keamanan dan ketertiban kota menjadi sorotan penting, mengingat masyarakat memegang peranan vital dalam menciptakan iklim politik yang damai dan bermartabat. Dalam situasi seperti PSU, netralitas konstruktif dan partisipasi positif dari masyarakat menjadi kekuatan sosial yang mampu menghalau provokasi.

Mahkamah pun menyoroti pentingnya kesadaran politik warga. Dalam pertimbangan terhadap dugaan manipulasi surat pemberitahuan pemungutan suara, Mahkamah menilai bahwa tanggung jawab tidak semata-mata berada di pundak penyelenggara pemilu.

Masyarakat perlu proaktif mencari informasi, karena hak pilih tetap dapat digunakan meskipun undangan tidak diterima, selama terdaftar dalam DPT dan membawa KTP elektronik. Pendekatan ini menekankan pentingnya literasi pemilu yang kuat dan tanggung jawab bersama dalam proses demokrasi.

Pesan paling kuat yang seharusnya menggema dari seluruh proses PSU adalah ajakan untuk lapang dada. Demokrasi bukan ajang saling menjatuhkan, tetapi ruang untuk menguji kedewasaan politik melalui mekanisme hukum yang telah disepakati bersama. Menolak hasil keputusan MK atau menyebarkan narasi provokatif hanya akan merusak tatanan demokrasi dan memperlebar jurang perpecahan di tengah masyarakat.

Dengan semua keputusan MK yang bersifat final dan mengikat, tidak ada ruang lagi bagi upaya delegitimasi hasil pemilu melalui disinformasi dan agitasi politik. Publik harus menyadari bahwa stabilitas demokrasi akan bertahan apabila seluruh pihak—baik pasangan calon, pendukung, maupun masyarakat umum—mampu menahan diri dan menerima hasil akhir secara terbuka dan legowo.

Pemungutan Suara Ulang adalah bagian dari proses koreksi konstitusional, bukan arena konflik yang tak berkesudahan. Maka dari itu, seluruh elemen bangsa perlu bersatu, menolak hoaks, melawan provokasi, dan menjaga perdamaian dalam bingkai demokrasi yang dewasa. (*)

Analis Politik Nasional – Forum Kajian Demokrasi Indonesia

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.